![Cerpen](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image001.gif)
Senja
telah menantiku
Ayah, begitu
mahalkah kasih sayang mu kepadaku, sehingga aku harus membayar dengan nyawaku.
Sudah ku relakan seluruh kesabaran demi ambisimu untuk menikah lagi. Aku meredam
amarah, menyembunyikan kebencian, memasang senyum lebar atas pernikahanmu,
ayah. Walau pun diriku kau kurung dalam sangkar saat pesta pernikahan, diriku
tidak tuli untuk mendengarkan syair-syair pernikahan. Ingatkah kau bahwa
dinding memiliki perasaan dan penglihatan
yang tajam.
Kini kau
berbulan madu, memberikan segala perhatian untuk istri baru mu. Setiap kali kita
berpandangan, seketika itu kau palingkan wajah untuk istrimu. Kau tersenyum
manis dan kau kecup keningnya. Setiap pagi kau antar dia kemanapun dia suka,
menuruti segala yang dia minta, dan memberikan semua yang kau punya.
Setelah kau
acuhkan aku, kau hancurkan senyumku, merusak kehangatan kasih sayangku dan
melenyapkan perhatianmu kepadaku. Kini kau berani membentakku demi istrimu, tanpa
kau tahu siapa yang menjadi tersangka dalam pertengkaran. Pertama kali ku
melihat mata belalak merahmu, luapan amarahmu, dan kurasakan perkataan kotormu.
Tak akan kau sadari, aku belum
pantas kau perlakukan seperti itu. aku masih butuh kasih sayangmu, perhatianmu,
belaian tulusmu serta kau bimbing aku dalam segala tingkah lakuku. Ayah, aku
belum bisa mencuci pakaian, menyiapkan makan bahkan menyetrika baju sendiri.
Apa kau lupa usiaku 9 tahun.
“ayah, aku tidak bisa menyetrika.
Ayah mau tidak menyetrikakan seragam sekolahku?”
“ayah masih kerepotan mencuci
sepeda motor, biasanya kan minta bantuan sama budhe. Udah besar kok belum bisa
menyetrika sendiri, dasar anak manja…!”
“budhekan pulang kampong, karena
pakdhe sakit. Ayah sih tidak mau menjenguk dan mengantarkan budhe pulang.”
“anak kurang ajar, dibilangin
sama orang tua kok nglawan…!”
“ayah jahat, aku benci ayah.”
Seketika tangan ayah mau melintas
di pipiku, aku terdiam dan menggigil ketakutan. Aku berlari ke kebun belakang
rumah, disana senja telah menantiku dengan setia. Ku curahkan semua
kepedihanku. Kuteriakkan sekeras mungkin kepada senja bahwa hatiku tersakiti
karena ayah. Ayah mau menamparku, aku tidak menyangka ayah akan berbuat seperti
itu.
Ibu kenapa kau pergi sendiri,
tidak inginkah kau membawaku bersamamu. Rindukah kau disana, khawatirkah kau
pada ku, ibu. Aku ingin bertemu ibu. Untuk menghilangkan semua kerinduanku, aku
mengelilingi seluruh perkebunan milik ayah.
Di kebun ini aku menanam biji
cabai, tomat, ketimun, dan jenis sayuran yang lain bersama ibu dan ayah. Walau
aku tidak bisa, setidaknya aku menemani mereka di sore hari dimana senja mau
menemani keluargaku dengan cahaya yang hangat. Sehangat cinta kasih mereka
kepadaku. Saat itu juga saya senang dengan senja hari. Ibu pernah mengatakan
kepadaku jika dia pergi yang akan mewarnai hidupku adalah senja.
Fajar telah membangunkanku dari
mimpi indahku bersama ibu. Senyum lebar terhias dibibirku untuk memulai
menghirup udara kebahagiaan. Kusiapkan semua perlengkapan sekolahku, dari
mengerjakan PR, membawa peralatan alat tulis, buku, seragam dan sarapan pagi
untuk ayah dan ibu baruku. Setelah mereka siap untuk sarapan, ku tampakkan
senyum terbaikku. Tapi, mereka tidak memperdulikanku, justru mereka memuntahkan
makan di hadapanku.
“mas,
jangan marah sama anak sendiri. Ingat mas, dia masih kecil. Wajar kalau masih
belajar memasak.”
“umur 9 tahun masih belajar
memasak. Apa tidak salah…!!!”
“udah mas, aku masakan telur saja
ya…,”
Terdiam, ku tahan air mataku biar
tidak tumpah dihadapan mereka. Bergegas ku habiskan makanan didepanku. Setiap
hari aku berjalan menelusuri semak-semak untuk menuju ke sekolah. Disepanjang
jalan aku menangis. Tidak ada teman yang menenangkan hatiku. Temanku berlalu
melewatiku.
Aku tak punya teman di sekolah
maupun di rumah, aku selalu menyendiri di sudut perpustakan. Membaca buku
cerita dan buku pelajaran justru tidak pernah ku lupakan. Yang membuat hatiku
ceria, bisa membaca cerita putri salju dan tujuh kurcaci yang menjadi
sahabatnya.
Kisah hidupku tidak jauh beda
dengan putri salju, memiliki ibu tiri yang kejam dan menginginkan dia pergi
dikehidupannya. Disegala penderitaan putri salju, masih tetap bersabar. Bahkan dia dipertemukan
dengan tujuh kurcaci yang menjadi sahabat terbaiknya. Ketika maut menerpa
dirinya, tujuh kurcaci takut untuk kehilangan dirinya, bahkan sang pangeran
tampan memberikan cinta suci untuk mengembalikan kehidupan putri salju.
Akhirnya, mereka bahagia selamanya dalam menjalani hidup ini.
Apa ada kebahagiaan seperti itu
untuk diriku? Semua itu ada di nengri dongeng, tidak untuk kehidupan nyata
seperti ini. Aku yakin kebahagiaan itu akan menghampiriku, entah kapan waktu
itu menghampiriku. Aku hanya bisa terdiam untuk menghadapi kemarahan orang
tuaku.
Waktu semakin membesarkanku, aku
semakin bisa melawan apa yang ku anggap benar, semakin berani untuk berkata
kepada ayah maupun ibu tiriku. Semakin dewasa diriku untuk mengambil sikap yang
membuatku semakin jelek dihadapan saudara-saudaraku. Dari pernikahan baru ayah,
telah melahirkan seorang anak lelaki yang amat disayanginya. Semakin jauhlah
ayah dariku. Keadilan tidak berpihak kepadaku, justru pelemparan kesalahan yang
kuterima setiap hari.
Ayah sangat mendambakan seorang
anak laki-laki, dia merasa anak laki-laki sangat berkuasa dimanapun dia akan
menginjakkan kaki di bumi. Mungkin dari sini, pemicu perceraian antara ayah dengan ibu kandungku. Tak sengaja
ku lihat pertengkaran mereka dan ku dengar bahwa ibu tidak akan bisa mengandung
lagi karna rahimnya harus diangkat. Mungkinkah alasan ini juga ayah sangat
membenciku.
Ku habiskan seharian ini untuk
bersama senja, ku pandangi penuh perasaan, ku utarakan bahwa aku akan menjadi
sahabat sejatinya selalu. Senjaku, sinar kehangatanmu membuatku semakin rindu
kelimpahan kasih sayang dari keluarga kecilku dulu. Senja masih sudikah kau
menantiku disetiap harimu dengan ketulusanmu.
Faul hulwah
Selasa, 21 februari 2012
00:34 WIB